
Framing Pesantren dan Logika Pasar
“Neoliberalism is a great mall where humanity is invited to buy and sell.
Everything is for sale: land, water, air, dreams, words, sorrow, and joy.
Those who have something to sell, enter.
Those who have money to buy, stay inside.
Those who have nothing to sell, who have no money, are left outside.
Outside are the unemployed, the indigenous, the displaced, the forgotten.
Inside, lights shine and music plays. Everything has a price — even dignity, even life.”
(Subcomandante Marcos, dalam esai “Neoliberalism is the Real Enemy”)
Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini:
“Neoliberalisme adalah sebuah pusat perbelanjaan raksasa tempat seluruh umat manusia diundang untuk membeli dan menjual.
Segalanya dijual: tanah, air, udara, mimpi, kata-kata, duka, dan kebahagiaan.
Mereka yang punya sesuatu untuk dijual, dipersilakan masuk.
Mereka yang punya uang untuk membeli, boleh tinggal di dalam.
Tetapi mereka yang tidak punya apa pun untuk dijual, yang tak punya uang, dibiarkan di luar.
Di luar ada para penganggur, kaum pribumi, orang-orang terusir, dan mereka yang dilupakan.
Di dalam, lampu berkilau dan musik berdentum.
Segala sesuatu punya harga — bahkan martabat, bahkan kehidupan.”
Kata-kata Subcomandante Marcos, pemimpin gerilya dan juru bicara EZLN (Ejército Zapatista de Liberación Nacional) dari Chiapas, Meksiko, ini kembali terasa relevan dengan sebuah peristiwa di Indonesia baru-baru ini. Pada 13 Oktober 2025, Trans7 melalui program Xpose Uncensored menayangkan sebuah episode yang menyoroti kehidupan santri dan kiai di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Dalam tayangan tersebut, kiai digambarkan sebagai sosok yang “bermegah-megahan”, sementara para santri ditampilkan dalam posisi inferior secara visual dan simbolik, seperti adegan santri “jongkok”, “mengambil amplop dari murid”, atau “harus jongkok untuk minum susu” (blitarkawentar.jawapos.com, diakses 15 Oktober 2025). Hal-hal yang sejatinya merupakan bagian dari tradisi penghormatan santri kepada kiai, dibesar-besarkan dengan framing negatif.
Dari peristiwa inilah kita dapat memahami makna kata-kata Subcomandante Marcos di awal tadi. Dunia kini dijalankan oleh logika pasar total; semua hal diukur dengan nilai jual. Mereka yang tidak bisa menjual (atau dibeli) tersingkir dari ruang sosial. Kemanusiaan, budaya, bahkan penderitaan menjadi komoditas tontonan. Neoliberalisme pada dasarnya bukan sekadar sistem ekonomi, tetapi juga sebuah cara pandang yang memandang manusia dan dunia sebagai barang dagangan.
Sebagai metamorfosis dari sistem kapitalisme yang kini telah mencapai tingkat imperialisme, bagi saya istilah yang lebih tepat adalah “imperialis neoliberal.” Trans7, sebagai bagian dari korporasi besar CT Corp (Chairul Tanjung Corporation), jelas menggunakan logika imperialis neoliberal ini ketika memproduksi dan menayangkan program yang mendiskreditkan pesantren serta menjadikannya sebagai tontonan komersial.
Rating akan tinggi jika menampilkan kontroversi, karena yang menonton, mendiskusikan, dan memperdebatkannya bukan hanya mereka yang menyukai, tetapi juga yang menolak. Komunitas pesantren, terlebih pesantren NU (Nahdlatul Ulama), merupakan komunitas dengan jumlah massa terbesar di Indonesia. Berbagai reaksi dari banyak pihak tentu akan meningkatkan rating Trans7, yang berujung pada peningkatan pendapatan — baik dari iklan maupun dari sumber komersial lainnya.
Dengan demikian, Trans7 telah menjadikan kehidupan pesantren sebagai barang dagangan. Karena itu, protes dari kalangan pesantren semestinya tidak hanya diarahkan pada pemecatan produser program tersebut, tetapi juga pada CT Corp secara keseluruhan, yang telah membiarkan tayangan itu disiarkan.
Pemerintah Indonesia, sebagai representasi rakyat yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, seharusnya mengacu pada Pasal 33 ayat (1–3) UUD 1945, khususnya ayat (1), dalam menyikapi hal ini: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Sistem ekonomi Indonesia bukanlah sistem kapitalisme atau imperialisme neoliberal yang berorientasi pada keuntungan individual atau kelompok semata.
Sebagaimana demokrasi Indonesia berorientasi pada kebaikan bersama, sistem ekonomi kita juga harus berorientasi pada Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan memakai logika imperialis neoliberal yang menjadikan dunia pesantren sebagai komoditas, Trans7 dan CT Corp pada dasarnya telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya memberikan teguran keras, bahkan mempertimbangkan pencabutan izin usaha apabila Trans7 dan CT Corp tidak mau mengakui kesalahannya dan memperbaiki diri.
Serangan terhadap dunia pesantren melalui framing negatif program tersebut pada hakikatnya adalah serangan terhadap keluarga bangsa. Hal ini harus disikapi dengan tegas oleh seluruh rakyat dan negara Indonesia.
Sebagian masyarakat telah merespons dengan gerakan boikot Trans7 dan CT Corp. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah Indonesia akan sejalan dengan suara rakyat, atau justru membiarkan polemik ini terus berlarut dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa? (*)








